Pesantren Syekh Kuro
Syekh Kuro yang dikenal pula
dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya
pengaruh
ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng
Tapa
dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren
di
Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai
Syahbandar
di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng
Tapa
dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.
Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa. Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan tali pernikahan.
Pengaruh eksternal
Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat
dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur
Tengah,
Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh
kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan
Dinasti
Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran
Mongol
Islam di India. Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.
Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan guru
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap
dalam
upaya pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya
sudah
menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung.
Dapat
kita baca Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat
sebagai
Rasul di Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali
dengan
Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah. Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang berada di gunung.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.
Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi
agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata dalam
masa
Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh Maolana Sultan
Mahmud
disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji
dikenal
dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah,
lahir
putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah
wafat
dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua adalah Syarif Nurullah. Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.
Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu
Siliwangi
Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang
saya
angkat dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu
Siliwangi
merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan
M.Hum
ada bagian sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya
Pangeran
Arya Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran
Sulendraningrat (1972),
dan Drs. Atja (1986). Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke turunan ke-12 dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun Dinasti Prabu Siliwangi
yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan
dari
Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh putra-putrinya. Walaupun
Subang
Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan
Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh Hasanuddin atau
dikenal
pula sebagai Syekh Kuro. Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir. Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar