Selasa, 19 Juni 2012

Jasa Pengiriman Barang PT.Aswatama

Jasa Pengiriman Barang

Ekspedisi Bintang Mas Jaya adalah perusahaan jasa ekspedisi yang bergerak di bidang penyedia jasa pengiriman barang antar kota. Ekspedisi Pengiriman Barang Bintang Mas Jaya berlokasi di Jakarta dan memiliki perwakilan di Palembang dan Lampung.

Jasa Ekspedisi

Ekspedisi Bintang Mas Jaya melayani pengiriman barang dalam partai besar maupun kecil dengan harga bersaing. Silahkan hubungi kami untuk informasi lengkap mengenai layanan jasa ekspedisi pengiriman barang di 087882075222.

Cirebon, Masa Lalu dan Kini

Jika kita membuka catatan sejarah, pada abad ke-15 dan 16 Masehi Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya di pantai utara Jawa perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya berperan sebagai pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, Cirebon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pendiri kota Cirebon adalah Raden Walangsungsang -- putra Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, seorang puteri Ki Gedeng Tapa saudagar kaya di Pelabuhan Muarajati Cirebon -- yang membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) dimulai pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Dukuh yang dibangun itu lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (campuran), karena di sana bercampur para pendatang untuk bertempat tinggal atau berdagang, mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang berbeda.
Ki Gedeng Alang-alang diangkat oleh masyarakat baru itu menjadi Kuwu Caruban yang pertama, dan Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi. Mata pencaharian mereka pada mulanya adalah sebagai nelayan. Ki Gedeng Alang-alang, setiap malam bekerja menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai dan pada siang harinya membuat terasi, petis, dan garam. Dari air belendrang bekas pembuatan terasi dari rebon, desa ini dikenal pula dengan sebutan Cirebon (cai-rebon).
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Bahkan ketika kakeknya, Ki Gedeng Tapa yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.
Usai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana yang kemudian disebut Haji Abdullah Iman tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan empat keraton, yakni Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh yang dianggap paling penting karena merupakan keraton tertua yang didirikan pada tahun 1529, Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kaprabon. Cirebon tumbuh sebagai pusat pemerintahan (keraton) dan pusat pendidikan (pengembangan ajaran Islam) di Jawa Barat.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649).
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667).
Gelar kepala negara Cirebon, sejak putra Panembahan Girilaya naik takhta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) tempat belajar para intelektual keraton.
Pembagian Kesultanan Cirebon kepada tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon sejak tahun 1677 merupakan babak baru terpecahnya keraton Cirebon kepada tiga orang putra Pangeran Girilaya yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.
Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai caretaker.
Suksesi para sultan pada umumnya berjalan lancar, meskipun pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803) pernah terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Masa depan Kesultanan
Cirebon dengan empat kesultanan, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaparabonan, sesungguhnya merupakan aset budaya yang tak ternilai. Sayangnya, konflik internal yang terjadi di Kanoman membuat keberlangsungan budaya dan kesultanan Islam menjadi terganggu. Simbol-simbol adiluhung di keraton telah dicemari oleh kepentingan kekuasaan, wibawa, dan kepentingan keluarga.
Sebut saja, ketika di keraton Kanoman terjadi pelantikan dua sultan pada Rabu malam tanggal 5 Maret dan Kamis siang tanggal 6 Maret 2003. Hal itu menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton. Pelantikan kedua sultan ini dihasilkan dari ketaatan atas adat dan wasiat. Takhta Sultan Kanoman XII yang diturunkan kepada Elang Muhammad Saladin pada Rabu malam itu didasarkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Sultan Kanoman XI, Pangeran Raja Haji Muhammad Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penggantinya. Sementara takhta yang diturunkan kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari kamis, kurang dari 24 jam sejak penobatan Saladin, didasarkan pada adat (tradisi) yang berlaku di kesultanan Kanoman yang biasanya putra pertama sultan dari garwa ratu atau permaisuri memiliki hak otomatis sebagai putra mahkota. Jadi, pada hari Kamis 6 Maret 2003 Keraton Kanoman mempunyai dua sultan; satu takhta dua raja. Sampai kini konflik di antara keduanya belum berakhir bahkan terjadi tindak "kekerasan" dari titah Sultan Emirudin kepada Sultan Saladin dan keluarganya untuk meninggalkan Keraton Kanoman. Siapapun belum ada yang berhasil melerainya.
Sesungguhnya para pewaris takhta kerajaan atau para sultan sekarang sadar bahwa keraton dan takhta kesultanan bukan lagi tempat mencari harta dan melanggengkan kuasa. Mereka justru dipusingkan untuk mengelola harta pusaka keraton, dan berjuang memperoleh kembali hak mereka tanpa bantuan siapa-siapa. Nama besar keraton dan kesultanan di masa silam memang megah dan berwibawa, tapi kini bila memasuki Keraton Kanoman yang sedang ramai dengan suksesi itu, di depan gerbang keraton cuma tersisa sekerat tanah alun-alun yang semrawut dan kotor, yang seolah-olah menjadi halaman pasar sore, jalan selebar delapan meter menuju keraton menyempit karena dikuasai pedagang kaki lima yang berebut lahan dengan abang-abang becak. Dan di belakang gerbang ada istana yang kini hanya tampak seperti sekumpulan bangunan tua dengan rumput liar di sekelilingnya; simbol kekuasaan keraton seakan tinggal puing; masa depan keraton mulai redup.
Dalam perebutan takhta kesultanan itu saya mengamatinya sebagai bentuk persaingan wibawa tradisional karena sultan mempunyai kedudukan, kekuasaan, dan pemegang mandat berbagai upacara tradisional. Sehingga persaingan itu saya rasa sulit untuk diselesaikan bahkan oleh pengadilan sekalipun. Tetapi akan lebih cepat selesai jika ditempuh dengan jalan ishlah; masing-masing mengakui alur kekerabatan dan kepentingan pelestarian wibawa itu dengan menyerahkan mandat karismatik dan wibawa tradisionalnya kepada salah satu di antara keduanya. Meski itu pun adalah pilihan yang juga mempertaruhkan wibawa keluarga masing-masing. Sebab, bagaimana pun wibawa tradisional itu telah terbangun oleh unsur-unsur magis religius yang biasanya muncul pada upacara-upacara sakral dan diikuti oleh ketaatan rakyat kepada sultannya. Dan legitimasi atas sultan yang diakui sebagai pemimpinnya itu baru dapat dilihat dari ketaatan rakyat kepada sultannya.
Terlepas dari itu semua, Cirebon memiliki rentang sejarah cukup panjang dari sebuah dusun hingga menjadi kerajaan dan kini menjelma sebagai kota besar di pesisir pantai utara Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat perlu meningkatkan perhatian yang serius kepada lima daerah "Ciayumajakuning" itu. Setidak-tidaknya, sejarah masa silam Cirebon yang gemilang perlu direkonstruksi kembali dengan cara:
Pertama, mengembalikan pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan internasional yang ramai tempat berlabuh kapal-kapal besar dari seluruh dunia, dan berdayakan pelabuhan udara Penggung sebagai pelabuhan udara lokal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan jasa. Melalui otonomi daerah, sesungguhnya Cirebon memiliki aset budaya dan sumber daya manusia, alam, dan industri yang cukup besar yang bisa diberdayarkan untuk kemajuan Cirebon dan sekitarnya.
Kedua, menempatkan keraton Cirebon sebagai pusat budaya dan tradisi masyarakat Cirebon dengan perhatian sepenuhnya terhadap sultan sebagai pemimpin spiritual, budaya, dan tradisi, apalagi kalau ditempatkan seperti kesultanan Yogyakarta; di mana seorang sultan juga merangkap sebagai kepala pemerintahan di daerah, paling tidak memberikan tempat khusus kepada sultan sebagai pemegang kuasa dan wibawa tradisional.
Ketiga, mengakui secara utuh keberadaan Cirebon dan wilayah sekitarnya sebagai bagian dari Jawa Barat dan etnis Sunda yang unik, khas, dan mempunyai karakter tersendiri dengan cara mengembangkan dan memberi perhatian terhadap sosial budaya dan tradisinya yang khas.
Keempat, berdayakan masyarakat pesisir utara (Cirebon dan Indramayu) dan masyarakat "pedalaman" Majalengka dan Kuningan dengan pemberian perhatian penuh dalam berbagai sektor yang diperlukan di antara letak geografis yang berbeda, dan tidak menganggap sebelah mata kepada masyarakat di sana sebagai masyarakat kelas dua. Dorongan untuk membentuk provinsi Cirebon beberapa tahun yang lalu yang kini redup, dipicu oleh ketidakberpihakan pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat terhadap wilayah ini. Karena itu, prioritas pembangunan provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Danny Setiawan untuk lima tahun mendatang diarahkan pada peningkatan sektor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat di kelima daerah itu.
Kelima, agar tidak menimbulkan konflik internal di kalangan keraton perlu dilegalkan kedudukan kesultanan Cirebon sebagai aset budaya masa silam melalui peraturan daerah (perda) sehingga campur tangan pemerintah daerah dalam membina, mengembangkan, melestarikan, dan menjaga kehormatan kerabat keraton dilindungi oleh aturan yang berlaku. Apabila perda itu terwujud, keikutsertaan pemerintah daerah sebagai penengah dalam konflik internal di Keraton Kanoman, misalnya, bisa terlegalkan dan persoalan itu bisa dengan cepat selesai. Syukur-syukur kalau keempat kesultanan itu diberikan hak sebagai pemegang otoritas tradisi atau sebagai daerah istimewa seperti Yogyakarta.
Keenam, optimalisasi peran Dewan Perwakilan Daerah asal Jawa Barat melalui Pangeran Arief Natadiningrat yang mememahami desah nafas warga dan denyut budaya Cirebon, sehingga dapat merefleksikan harapan dan keinginan masyarakat Cirebon di masa yang akan datang melalui jalur legislatif. Wallahu a'lam.***




Raja Sunda tidak Melarang Rakyatnya Pindah Agama

Selama abad ke-14, Sunda diperintah oleh delapan orang raja. Di antara mereka ada yang berkuasa di seluruh wilayah Negara Sunda yang terdiri atas ”Sunda Barat” (Sunda atau Pajajaran) dan ”Sunda Timur” (Galuh) dan ada yang hanya berkuasa di salah satu wilayah itu. Mereka yang pernah berkuasa selama abad ke-14 itu adalah:
Rakryan Saunggalah atau Prabu Ragasuci yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Penggantinya sebagai raja adalah anaknya, Prabu Citragandha atau Sang Mokteng Tanjung ‘yang Meninggal di Tanjung’ yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311). Ia digantikan anaknya, Prabu Linggadewata atau Sang Mokteng Kikis ‘Yang Meninggal di Kikis’ yang berkuasa selama 22 tahun (1311-1333).
Karena anaknya perempuan, Linggadewata kemudian digantikan oleh menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa atau Sang Mokteng Kiding ‘Yang Meninggal di Kiding’ selama tujuh tahun (1333-1340). Anak Linggadewata yang diperistrinya itu bernama Rimalestari dan perkawinan mereka melahirkan Prabu Ragamulya Luhurprabawa atau Sang Aki Kolot yang kemudian menggantikannya sebagai raja selama 10 tahun (1340-1350). Setelah meninggal dan dikenal sebagai Salumah ing Taman ‘Yang Meninggal di Taman’, ia digantikan anaknya yang bernama Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa atau Sang Mokteng Bubat ‘Yang Meninggal di Bubat’ selama tujuh tahun (1350-1357).
Karena anak Linggabhuwana masih kecil, kekuasaan dipegang oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati, yang setelah menjadi raja bergelar Sang Prabu Bunisora, selama 14 tahun (1357-1371). Setelah meninggal dan terkenal sebagai Sang Mokteng Gegeromas ‘Yang Meninggal di Gegeromas’, ia digantikan oleh anak Linggabhuwana yang bernama Niskala Wastukancana. Raja itu terhitung tokoh yang ”bernafas panjang”, pemerintahannya berlangsung selama 104 tahun (1371-1475).
Prabu Niskala Wastukancana atau Prabu Resi Bhuwana Tunggaldewata atau Sang Mokteng Nusalarang” ‘Yang Meninggal di Nusalarang’ itulah yang tampaknya dikenal sebagai raja dengan julukan Prabu Siliwangi yang pertama. Menurut NPW, semua Raja Sunda setelah Raja Linggabhuwana dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi. Niskala Wastukancana mempunyai dua orang istri dan dari setiap istri lahir anak laki-laki. Akibatnya, ia terpaksa membagi negaranya menjadi dua.
Jika dugaan Hageman benar, berarti bahwa kemunculan orang Islam yang pertama di Sunda itu terjadi pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil, mengingat hingga saat ini bukti tertua mengenai tinggalan budaya yang bercorak Islam di Leran (Jawa Timur), yaitu nisan Fatimah binti Maimun, bertitimangsa 1081. Masalahnya adalah hingga sekarang bukti demikian itu di wilayah Sunda belum ditemukan.
Naskah CP tidak banyak mengembarkan tokoh itu. Dalam naskah itu ia hanya disebut sebagai raja yang berkuasa selama 10 tahun dan setelah meninggal dikenal sebagai Salumah ing Kiding ‘Yang Meninggal di Kiding’. Julukan itu tentulah sama dengan Sang Mokteng Kiding menurut NPW.


Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi

Oleh AHMAD MANSUR SURYANEGARA DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro
Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.
Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa. Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan tali pernikahan.
Pengaruh eksternal
Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.
Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan guru
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap dalam upaya pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.
Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang berada di gunung.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.
Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua adalah Syarif Nurullah.
Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.
Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu Siliwangi
Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang saya angkat dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja (1986).
Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke turunan ke-12 dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.
Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir. Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.***

Sejarah Islam Di Kota Cirebon

Islamisasi di Betawi

Oleh Alwi Shahab

Dalam diskusi 'kecil' di Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) awal pekan ini, banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Falatihan, panglima Kerajaan Islam Demak menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Drs Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal. Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Falatehan yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada tahun 1412, yang digerakkan oleh Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja). Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai 'Perkembangan Kota Jakarta,' menulis : 'Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.'

Menurut kitab 'Sanghyang Saksakhanda', sejak pesisir utara Pulau Jawa -- mulai dari Cirebon - Krawang dan Bekasi -- terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri --salah satunya-- Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite. Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.

Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?

Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola. Kaum langgara inilah yang disebut samanan. Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan.

Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.

Dalam diskusi itu, Ridwan menyebutkan, dalam proses Islamisasi, terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Wali lainnya, Ki Aling, menurut Ridwan, tidak diketahui makamnya. Ketujuh 'wali Betawi' ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18. Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara. Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat.

Seperti daerah lainnya di Nusantara, Islamisasi di Betawi berlangsung penetration pacifique (penyebaran secara damai). ()

Sejarah Kota Bandung

SEJARAH BANDUNG
Oleh: A. Sobana Hardjasaputra
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.

Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).

Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.

Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur".
Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.

Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.

Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.

Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.


Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).

Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.

Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.

Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.

Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.

Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.

Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.

Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).

Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.

Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)

Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.

Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).

SEJARAH ISTANA BOGOR

SEJARAH ISTANA BOGOR

ISTANA BOGOR
Istana Bogor merupakan salah satu di antara 6 buah istana kepresidenan Republik Indonesia yang ada di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri, dibanding dengan istana lainnya, karena mempunyai aspek historis, kebudayaan dan fauna yang menonjol. Pada saat ini Istana Bogor hanya tinggal mempunyal aspek kebudayaan dan fauna, sebab berbagai upaya kenegaraan sudah tidak dilakukan lagi di sana, dan di samping itu khalayak umum diperbolehkan mengunjungi secara rombongan, dengan sebelumnya meminta ijin ke Sekretaris Negara, c.q. Kepala Rumah Tangga Kepresidenan.
Istana Bogor yang mempunyai bentuk arsitektur menawan ini telah dibuka untuk kunjungan umum sejak tahun 1968 atas restu dari Bapak Presiden Suharto. Arus pengunjung dari luar dan dalam negeri setahunnya mencapai sekitar 10 ribu orang.
SEJARAH ISTANA BOGOR
Istana Bogor yang terkenal saat ini, dahulunya bernama Buitenzorg atau San Souci, hanya merupakan sebuah tempat pesanggrahan dari Gubernur Jenderal G. W. Baron Van Imhoff yang luas halamannya mencapai 28.4 hektar dan dengan luas bangunan 14.892 meter persegi. lstana Bogor ini dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga. Namun pada tahun 1834 beberapa bagian dari istana itu roboh dan hancur akibat adanya gempa yang melanda daerah Bogor dan sekitarnya karena meletusnya Gunung Salak.
Pada tahun 1850, Istana Bogor dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada tahun 1870, istana Bogor dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Belanda. Selama masa Gubernur Jenderal Belanda maupun lnggris (DaendeIs Van der Cappelen dan Sir Thomas Stamford Raffles), bentuk bangunan Istana Bogor telah mengalami berbagai perubahan.
Istana Bogor sebagai tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Belanda maupun Presiden Republik Indonesia mempunyai bangunan induk dengan sayap kiri serta kanan. Sebelumnya Istana Bogor dilengkapi dengan sebuah kebun besar, yang dikenal sebagai Kebun Raya namun pada akhirnya sesuai dengan kebutuhan akan Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan tentang tanaman tropis, Kebun Raya dilepas dari naungan istana (1817).
Bangunan induk Istana Bogor terdiri dari kantor pribadi Kepala Negara, Perpustakaan, Ruang makan, Ruang sidang menteri-menteri dan Ruang pemutaran film, Ruang Garuda merupakan tempat upacara resmi, ruang teratai, sayap tempat penerimaan tamu-tamu negara. Sedangkan kanan dan kiri digunakan untuk ruang tidur tamu-tamu agung seperti Kepala Negara/Pemerintahan, para menteri dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1964 dibangun khusus untuk istirahat Bapak Presiden dan keluarganya, yang dikenal dengan nama Dyah Bayurini.

Istana Kepresidenan Bogor

Istana Bogor terletak di pusat kota Bogor, Jawa Barat, lebih kurang 60 km dari Jakarta. Komplek istana ini terletak di atas tanah seluas sekitar 28 hektar, yang ditumbuhi oleh kira-kira 100 buah pohon besar. Di halaman rumput yang membentang luas hidup bebas ratusan ekor rusa.
Pada 10 Agustus 1744, Gubernur Jendral G W Baron van Imhoff mengadakan inspeksi ke daerah Cianjur, Jawa Barat, yang kemudian menemukan tempat yang dianggap strategis dan cocok untuk beristirahat yaitu di daerah Bogor.
Pada 1745, Gubernur Jenderal tersebut memerintahkan untuk membangun sebuah gedung pesanggrahan dengan arsiteknya meniru bangunan gedung Bleinheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat Oxford di Inggris, dan bangunan ini diberi nama Buitenzorg, yang artinya "bebas masalah/kesulitan".
Pada 1750-1754 pesanggrahan ini mengalami kerusakan akibat serangan pasukan yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang yang kemudian diadakan perbaikan dengan tetap mempertahankan bentuknya pada masa Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Pada 1808-1811 Gubernur Jenderal Willem Daendels menambah gedung di sebelah kiri dan kanan gedung induk, sedangkan gedung induk dijadikan dua tingkat. Untuk menghias halaman yang luas itu, didatangkan dan dipelihara enam pasang rusa yang berasal dari perbatasan India dan Nepal. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1817-1826) terjadi penambahan bangunan yaitu dibangunnya sebuah menara di tengah-tengah gedung induk. Pada 10 Oktober 1834 terjadi gempa bumi yang mengakibatkan bangunan ini rusak berat. Pada 1850, pada masa Gubernur Jenderal Duy Mayer van Twist, bangunan lama dirubuhkan dan dibuat bangunan baru satu tingkat dengan gaya bangunan Eropa abad kesembilan belas. Selain itu diadakan penambahan dengan dibangunnya dua buah jembatan penghubung antara gedung induk dan gedung sayap kanan serta sayap kiri, namun pada perkembangannya jembatan penghubung ini dirubah menjadi koridor. Bangunan tersebut sempurna pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pahud de Montanger (1856-1861). Pada 1870 Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachower adalah orang terakhir yang menggunakan Istana Buitenzorgh, yang kemudian menyerahkannya kepada pemerintah pendudukan Jepang yang kemudian dikalahkan oleh tentara sekutu pada akhir Perang Dunia II.
Dengan adanya pernyataan kemerdekaan RI, kira-kira 200 pemuda Indonesia yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat menduduki Istana Buitenzorg dan mengibarkan bendera merah putih yang kemudian dipaksa meninggalkan istana tersebut oleh tentara Gurkha. Pada akhir 1949 istana Buitenzorg yang kemudian disebut Istana Bogor diserahkan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia mulai memakai Istana Bogor pada Januari 1950. Pada 1952 di bagian depan induk ditambahkan bangunan tambahan yang ditopang oleh sepuluh pilar bergaya Ionia, menyatu dengan serambi muka yang ditopang oleh pilar berjumlah enam yang bergaya sama. Anak tangga yang semula berbentuk setengah lingkaran diubah bentuknya menjadi lurus.
Istana Bogor adalah sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden. Beberapa peristiwa penting dan bersejarah yang pernah terjadi di Istana ini antara lain Konferensi Lima Negara pada 28-29 Desember 1954, pembahasan masalah konflik Kamboja yang dikenal dengan JIM pada 25-30 Juli 1988 dan pertemuan APEC pada 15 November 1994 serta peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia adalah penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Bangunan utama Istana Bogor disebut Gedung Induk, didalamnya terdapat Ruang Teratai, Ruang Garuda, Ruang Film, Ruang Perak, Ruang Kerja, Ruang Makan, Pantri dan beberapa ruang tidur serta ruang induk melengkapi baik disayap kanan dan kiri.
Kecuali bangunan utama terdapat pula bangunan perkantoran, polikklinik, pergudangan, pos jaga, ruang serba guna, museum dan beberapa paviliun.
Di samping mengelola Istana tersebut, Kepala Istana Bogor berkewajiban pula merawat tempat peristirahatan Pesanggrahan Tenjoresmi di tepi laut Selatan, 110 kilometer dari kota Bogor yang terletak didesa Pelabuhan Ratu.

Sejarah Talaga Warna

Talaga Warna
retold by Renny Yaniar
Long long ago there was a kingdom in West Java. The kingdom was ruled by a king. People called their king His Majesty Prabu. Prabu was a kind and wise king. No wonder if that country was prosperous. There's no hunger in this kingdom.
It was a very happy condition. But it was a pity that Prabu and his queen hadn't got any children. It made the royal couple very very sad. Some old men and women who was respected by Prabu suggested the king to adopt a child. But Prabu and the queen didn't agree. "No, thank you. But for us, our own daughter or son is better than adopted children."
The queen was very sad. She often cried. That was why Prabu decided to go. He went to the jungle. There he prayed to God. Everyday he begged for a child. His dream come true. A few months later, the queen got fregnant. All people in the kingdom felt happy. They sent many presents to the palace to express their happiness.
Nine months later a princess was born. People sent their presents again as a gift to a little princess. This baby grew as a beautiful teenager then.
Prabu and Queen loved their daughter so much. They gave what ever she wanted. It made Princess a very spoiled girl. When her wish couldn't be realized, she became very angry. She even said bad things often. A true princess wouldn't do that. Eventhough the princess behaved badly, her parents loved her, so did the people in that kingdom.
Day by day, the princess grew more beautiful. No girls couldn't compare with her. In a few days, Princess would be 17 years old. So, people of that kingdom went to palace. They brought many presents for her. Their presents gift were very beautiful. Prabu collected the presents. There were really many presents. Then Prabu stored them in a building. Some times he could take them to give to his people.
Prabu only took some gold and jewels. Then she brought them to the goldsmith. "Please make a beautiful necklace for my daughter," said Prabu. "My pleasure, Your Majesty," the goldsmith replied. The goldsmith worked with all his heart and his ability. He wanted to create the most beautiful necklace in the world because he loved his princess.
The birthday came. People gathered in the palace field. When Prabu and queen appeared, people welcomed them happily. Prabu and his wife waved to their beloved people.
Cheers were louder and louder when the princess appeared with her fabulous pretty face. Everybody admired her beauty. Prabu got up from his chair. A lady gave him a small and glamourous pillow. A wonderful necklace was on it. Prabu took that necklace. "My beloved daughter, today I give this necklace to you. This necklace is a gift from people in this country. They love you so much. They presented it for you to express their happiness, because you have growing to a woman. Please, wear this necklace," said Prabu.
Princess accepted the necklace. She looked at the necklace in a glance. "I don't want to accepted it! It's ugly!" shouted the princess. Then she threw the necklace. The beautiful necklace was broken. The gold and jewels were spread out on the floor
Everybody couldn't say anything. They never thought that their beloved princess would did that cruel thing. Nobody spoke. In their silence people heard the queen crying. Every woman felt sad and began crying too. Then everybody was crying.
Then there was a miracle. Earth was crying. Suddenly, from the under ground, a spring emerged. It made a pool of water. The palce was getting full. Soon the place became a big lake. The lake sank all of the kingdom.
Nowadays the water on that lake is not as full as before. There is only a small lake now. People called the lake "Talaga Warna". It is mean "Lake of Colour". It's located in Puncak, West Java. On a bright day, the lake is full of colour. So beautiful and amazing. These colors come from shadows of forest, plants, flowers, and sky arround the lake. But some people said that the colours are from the princess's necklace, which spreads at the bottom of the lake.

Tanaman Obat Pohon Adas

Tanaman Obat Pohon Adas






Adas
(Foeniculum vulgare Mill.)
Sinonim :
= E officinale, All. = Anethum foeniculum, Linn.
Familia :
Apiaccae (Umbelliferae)
Uraian :
Adas merupakan satu dari sernbilan tumbuhan obat yang dianggap berrnukjizat di Anglo-Saxon.
Di Indonesia telah dibudidayakan dan kadang sebagai tanarnan bumbu atau tanaman obat. Turnbuhan ini dapat hidup dari dataran rendah sampai ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut, namun akan tumbuh lebih baik pada dataran tinggi. Asalnya dari Eropa Selatan dan Asia, dan karena manfaatnya kemudian banyak ditanam di Indonesia, India, Argentina, Eropa, dan Jepang. Terna berumur panjang, tinggi 50 cm - 2 m, tumbuh merumpun. Satu rumpun biasanya terdiri dari 3 - 5 batang. Batang hijau kebiru- biruan, beralur, beruas, berlubang, bila memar baunya wangi. Letak daun berseling, majemuk menyirip ganda dua dengan sirip-sirip yang sempit, bentuk jarum, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berseludang warna putih, seludang berselaput dengan bagian atasnya berbentuk topi. Perbungaan tersusun sebagai bunga payung majemuk dengan 6 - 40 gagang bunga, panjang ibu gagang bunga 5 - 1 0 em, panj' ang gagang bunga 2 - 5 mm, mahkota berwarna kuning, keluar dari ujung batang. Buah lonjong, berusuk, panjang 6 - 10 mm, lebar 3 - 4 mm, masih muda hijau setelah tua cokelat agak hijau atau cokelat agak kuning sampai sepenuhnya cokelat. Namun, warna buahnya ini berbeda-beda tergantung negara asalnya. Buah masak mempunyai bau khas aromatik, bila dicicipi rasanya relatif seperti kamfer. Adas menghasilkan minyak adas, yang merupakan basil sulingan serbuk buah adas yang masak dan kering. Ada dua macam minyak adas, manis dan pahit. Keduanya, digunakan dalam industri obat-obatan. Adas juga dipakai untuk bumbu, atau digunakan sebagai bahan yang memperbaiki rasa (corrigentia saporis) dan mengharumkan ramuan obat. Biasanya adas digunakan bersama-sama dengan kulit batang pulosari. Daunnya bisa dimakan sebagai sayuran. Perbanyakan dengan biji atau dengan memisahkan anak tanaman.
Nama Lokal :
Hades (Sunda), adas, adas londa, adas landi (Jawa),; Adhas (Madura), adas (Bali), wala wunga (Sumba).; Das pedas (Aceh), adas, adas pedas (melayu).; Adeh, manih (Minangkabau). paapang, paampas (Menado).; Popoas (Alfuru), denggu-denggu (Gorontalo), ; Papaato (Buol), porotomo (Baree). kumpasi (Sangir Talaud).; Adasa, rempasu (Makasar), adase (Bugis).; Hsiao hui (China), phong karee, mellet karee (Thailand),; Jintan Manis (Malaysia). barisaunf, madhurika (Ind./Pak.).; Fennel, commaon fennel, sweet fennel, fenkel, spigel (I).;
Penyakit Yang Dapat Diobati :
Sakit perut (mulas), perut kembung, mual, muntah, ASI sedikit,; Diare, sakit kuning (jaundice), kurang nafsu makan, batuk,; Sesak napas (Asma), nyeri haid, haid tidak tertur, rematik goat,; Susah tidur (insomnia), buah pelir turun (orchidoptosis), kolik,; Usus turun ke lipat paha (hernia inguinalis), batu empedu,; Pembengkakan saluran sperma (epididimis),; Penimbunan cairan dalam kantung buah zakar (hiodrokel testis),; Keracunan tumbuhan obat atau jamur, meningkatkan penglihatan;
Pemanfaatan :
BAGIAN YANG DIGUNAKAN :
Buah masak (Xiaohuixiang, hui-hsiang). Buah yang telah masak dikumpulkan, lalu dijemur sampai kering.
KEGUNAAN:
Buah bermanfaat untuk mengatasi :
- sakit perut (mulas), perut kembung, rasa penuh di lambung, mual,
  muntah, diare,
- sakit kuning (jaundice), kurang nafsu makan,
- batuk berdahak, sesak napas (asma),
- haid: nyeri haid, haid tidak teratur,
- air susu ibu (ASI) sedikit,
- putih telur dalam kencing (proteinuria),
- susah tidur (insomnia),
- buah pelir turun (orchidoptosis),
- usus turun ke lipat paha (hernia inguinalis),
- pembengkakan saluran sperma (epididimis),
- penimbunan cairan di dalam kantung buah zakar (hidrokel testis),
- mengurangi rasa sakit akibat batu dan membantu menghancurkannya,
- rematik gout, dan
- keracunan tumbuhan obat atau jamur.
Daun berkhasiat mengatasi :
- batuk,
- perut kembung, koilk,
- rasa haus, dan
- meningkatkan penglihatan.
CARA PEMAKAIAN :
Buah adas sebanyak 3 - 9 g direbus, minum atau buah adas digiling halus, lalu diseduh dengan air mendidih untuk diminum sewaktu hangat. Daun dimakan sebagai sayuran atau direbus, lalu diminum.
Pemakaian luar, buah kering digiling halus lalu digunakan untuk pemakaian lokal pada sariawan, sakit gigi, sakit telinga dan luka.
Minyak adas juga dapat digunakan untuk menggosok tubuh anak yang masuk angin.
CONTOH PEMAKAIAN :
1. Batuk
    a. Siapkan serbuk buah adas sebanyak 5 g disedub dengan 1/2
       cangkir air mendidih. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok
       teh madu. Aduk sampai merata, minum sekaligus. Lakukan 2 kali
       sehari, sampai sembuh.
    b. Siapkan daun saga 1/4 genggam, bunga kembang sepatu 2
       kuntum, daun poko 1/5 genggam, bunga tembelekan 10 kuntum,
       bawang merah 2 butir, adas 1 sendok teh, pulosari 1 jari, rimpang
       jahe 1 jari, gula merah 3 jari, dicuci dan dipotong-potong
       seperlunya. Rebus dengan 3 gelas air bersih sampai tersisa
       setengahnya. Setelah dingin disaring, lalu diminum. Lakukan 3 kali
       sehari, masing-masing 1/2 gelas.
2. Sesak napas
    a. Ambil minyak adas sebanyak 10 tetes diseduh dengan 1 sendok
       makan air panas. Minum selagi hangat. Lakukan 3 kali sehari,
       sampai sembuh.
    b. Siapkan adas 1/2 sendok teh, pulosari ¼ jari, rirnpang kencur 2
       jari, rirnpang temulawak 1 jari, jintan hitam 114 sendok teh, daun
       poncosudo (Jasminum pubescens) 1/4 genggam, gula merah
       3 jari, dicuci dan dipotong-potong seperlunya. Baban-bahan tadi
       lalu direbus dengan 4 1/2 gelas air bersih sampai tersisa kira-kira
       separonya. Setelah dingin disaring, dan siap untuk diminum.
       Sehari 3 kali, masing-masing 3/4 gelas.
3. Sariawan
    Siapkan adas 3/4 sendok teh, ketumbar 3/4 sendok teh, daun iler
    1/5 genggam, daun saga 1/4 genggam, sisik naga 1/5 genggam,
    daun sembung 1/4 genggam, pegagan 1/4 genggam, daun kentut
    1/6 genggam, pulosari 3/4 jari, rimpang lempuyang wangi 1/2 jari,
    rimpang kunyit ½ jari, kayu manis ¾ jari, gula merah 3 jari, dicuci
    dan dipotong-potong seperlunya. Bahan-bahan tadi lalu direbus
    dengan 4 1/2 gelas air bersih sampai tersisa separonya. Setelah
    dingin disaring, siap untuk diminum. Sehari 3 kali, setiap kali cukup
    3/4 gelas.
4. Haid tidak teratur
    Siapkan daun dan bunga srigading masing-masing.1/5 genggam,
    jinten hitam 3/4 sendok teh, adas 1/2 sendok teh, pulosari 1/2 jari,
    bunga kesumba keling 2 kuntum, jeruk nipis 2 buah, gula batu
    sebesar telur ayam, dicuci lalu dipotong-potong seperlunya.
    Bahan-bahan tadi lalu direbus dengan 3 gelas air bersih sampai
    tersisa 2 1/4 gelas. Setelah dingin disaring, minurn 3 kali sehari,
    masing-masing 3/4 gelas. Keracunan tumbuhan obat atau jamur
    Siapkan serbuk buah adas sebanyak 5 g, lalu seduh dengan
    setengah cangkir arak. Minum selagi hangat.
5. Batu empedu
    Serbuk buah adas sebanyak 5 g diseduh dengan 1 cangkir air
    panas. Minum setelah dingin. Lakukan setiap hari.
CATATAN :
- Pengobatan hernia tetap dengan cara operasi, yaitu rnenutup lubang
  saluran yang ada. Adas hanya menaikkan sementara usus yang turul
  kelipat paha.
- Hindari penggunaan adas dalam dosis besar.
- Pemakaian buah adas kadang menyebabkan sering kentut dai
  bersendawa.
- Buah adas efektif untuk pengusir serangga (insect repellent).
Komposisi :
SIFAT KIMIAWI DAN EFEK FARMAKOLOGIS Buah : buah masak mengandung bau aromatik, rasa sedikit manis, pedas, hangat, masuk meridian hati, ginjal, limpa, dan lambung. Daun : berbau aromatik Minyak dari buah : minyak adas (fennel oil). KANDUNGAN KIMIA : Adas mengandung minyak asiri (Oleum Foeniculi) 1 - 6%, mengandung 50 - 60% anetol, lebih kurang 20% fenkon, pinen, limonen, dipenten, felandren, metilchavikol, anisaldehid, asam anisat, dan 12% minyak lemak. Kandungan anetol yang menyebabkan adas mengeluarkan aroma yang khas dan berkhasiat karminatif. Akar mengandung bergapten. Akar dan biji mengandung stigmasterin (serposterin). Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian : 1. Komponen aktifnya, anisaldehida, meningkatkan khasiat streptomycin untuk pengobatan TBC pada tikus percobaan. 2. Meningkatkan peristaltik saluran cerna dan merangsang pengeluaran kentut (flatus). 3. Menghilangkan dingin dan dahak. 4. Minyak adas yang mengandung anetol, fenkon, chavicol, dan anisaldehid berkhasiat menyejukkan saluran cerna dan bekerja menyerupai perangsang napsu makan. 5. Dari satu penelitian pada manusia dewasa, diternukan bahwa adas mempunyai efek menghancurkan batu ginjal. 6. Pada percobaan binatang, ekstrak dari rebusan daun adas dapat menurunkan tekanan darah.
Namun, pengolahan cara lain tidak menunjukkan khasiat ini.

Funfsi Buah Alpukat dan Uraian







Alpuket
(Persea gratissima Gaertn.)
Sinonim :
= P. americana, Mill.
Familia :
Lauraceae
Uraian :
Pohon buah dari Amerika Tengah, tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di kebun dan di pekarangan yang lapisan tananhnya gembur dan subur serta tidak tergenang air. Walau dapat berbuah di dataran rendah, tapi hasil akan memuaskan bila ditanam pada ketinggian 200-1.000 m di atas permukaan laut (dpl), pada daerah tropik dari subtropik yang banyak curah hujannya.
Pohon kecil, tinggi 3-10 m, berakar tunggang, batang berkayu, bulat, warnanya coklat kotor, banyak bercabang, ranting berambut halus. Daun tunggal, bertangkai yang panjangnya 1,5-5 cm, kotor, letaknya berdesakan di ujung ranting, bentuknya jorong sampai bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata kadang-kadang agak rmenggulung ke atas, bertulang rnenyirip, panjang 10-20 cm, lebar 3-10 cm, daun muda warnanya kemerahan dan berambut rapat, daun tua warnanya hijau dan gundul. Bunganya bunga majemuk, berkelamin dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung ranting, warnanya kuning kehijauan. Buahnya buah buni, bentuk bola atau bulat telur, panjang 5-20 cm, warnanya hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu atau ungu sarna sekali berbiji satu, daging buah jika sudah masak lunak, warnanya hijau, kekuningan. Biji bulat seperti bola, diameter 2,5-5 cm, keping biji putih kemerahan. Buah alpokat yang masak daging buahnya lunak, berlemak, biasanya dimakan sebagai es campur atau dibuat juice. minyaknya digunakan antara lain untuk keperluan kosmetik. Perbanyakan dengan biji, cara okulasi dan cara enten.
Nama Lokal :
Apuket, alpuket, jambu wolanda (Sunda), apokat, avokat,; plokat (Jawa). apokat, alpokat, avokat, advokat (Sumatera);
Penyakit Yang Dapat Diobati :
Sariawan, melembabkan kulit kuring, kencing batu, sakit kepala; Darah tinggi (Hipertensi), nyeri saraf (neuralgia), nyeri lambung,; Saluran napas membengkak (bronchial swellings), sakit gigi,; Kencing manis (diabetes melitus), menstruasi tidak teratur.;
Pemanfaatan :
BAGIAN YANG DIPAKAI: Daging buah, daun, biji.
KEGUNAAN:
Daging buah :
- Sariawan.
- Melembabkan kulit kering.
Daun:
- Kencing batu.
- Darah tinggi, sakit kepala.
- Nyeri syaraf.
- Nyeri lambung.
- Saluran napas membengkak (bronchial swellings).
- Menstruasi tidak teratur.
Biji:
- Sakit gigi.
- Kencing manis.
PEMAKAIAN,.
Untuk minum: 3-6 lembar daun.         
Pemakaian Luar:  Daging buah secukupnya dilumatkan, dipakai untuk masker. Daun untuk pemakaian setempat, biji digiling halus menjadi serbuk untuk menghilangkan sakit.
CARA PEMAKAIAN:
1. Sariawan:
    Sebuah isi alpokat yang sudah masak diberi 2 sendok makan madu
    murni, diaduk merata lalu dimakan. Lakukan setiap hari sampai
    sembuh.
2. Kencing batu:
    4 lembar daun alpokat, 3 buah rimpang teki, 5 tangkai daun randu,
    setengah biji pinang, 1 buah pala, 3 jari gula enau, dicuci lalu
    direbus dengan 3 gelas air bersih sampai tersisa 2 1/4 gelas.
    Setelah dingin disaring lalu diminum. Sehari 3 x 3/4 gelas.
3. Darah tinggi :
    3 lembar daun alpokat dicuci bersih lalu diseduh dengan 1 gelas air
    panas. Setelah dingin diminum sekaligus.
4. Kulit muka kering:
    Buah diambil isinya lalu dilumatkan sampai seperti bubur. Dipakai
    untuk masker, dengan cara memoles muka yang kering. Muka
    dibasuh dengan air setelah lapisan  masker alpokat tersebut
    mengering.
5. Sakit gigi berlubang:
    Lubang pada gigi dimasukkan bubuk biji alpokat.
6. Bengkak karena Peradangan:
    Bubuk dari biji secukupnya ditambah sedikit air sampai menjadi
    adonan seperti bubur, balurkan kebagian tubuh yang sakit.
7. Kencing manis:
    Biji dipanggang di atas api lalu dipotong kecil-kecil dengan golok,
    kemudian digodok dengan air bersih sampai airnya menjadi coklat.
    Saring, minum setelah dingin.
8. Teh dan alpokat baik untuk menghilangkan rasa sakit kepala, nyeri
    lambung, bengkak pada saluran napas, rasa nyeri syaraf (Neuralgia)
    dan datang haid tidak teratur.
Data penelitian:
Daun mempunyai aktivitas antibakteri dan menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus strain A dan B. Staphylococcus albus, Pseudomonas sp., Proteus sp., Escherichea coli dan Bacillus subtilis (E.O. ognulans dan E. Ramstad 1975).
Komposisi :
SIFAT KIMIAWI DAN EFEK FARMAKOLOGIS : Daun: Rasa pahit, kelat. Peluruh kencing. Biji : Anti radang, menghilangkan sakit. KANDUNGAN KIMIA: Buah dan daun mengandung saponin, alkaloida dan flavonoida, Buah juga mengandung tanin dan daun mengandung polifenol, quersetin, gula alkohot persiit
.